Dalam guratan peristiwa, kita
tengok betapa air mata bercucur basah. Negri ini sudah banjir penderitaan, tapi
dirasa telinga memang jauh dari rintih si miskin. Tatapan mata memandang tidak
apa adanya, rasanya kita sudah habis naluri nasib sepenanggungan. Padahal
bercorak tengger kalimat demi kalimat, angka demi angka, tentang kebobrobkan negri
kita. Peta kemiskinan tak lihat betapa banyak jumlahnya, termanipulasi dalam
batasan kemiskinan ala pemerintah. Tengok kanan, tengok jauh ke kanan. Si kecil
meratap senyum dibalik kaca bening restoran mewah milik rakyat kota. Ia hanya tersenyum!
Menelan ludah dan tak mampu senyapkan bunyi kerocong di perut. Perkasa bertubuh
lemah pun demikian, ia membukti hebat dihadapan anak, tapi rapuh selangkah demi
selangkah, merangkak hemat sambil memikul beban sampah, dalam ingatannya, dalam
kalbunya, dalam harapnya, “aku harus beri makan si anak!”. Sudah cukup. Apa ?
masih butuh saksi bukti ? getarkan hati kita!
Dada
pongah berdiri tengger di atas lantai licin gedung rakyat, melirik mesin waktu
yang bercokol ditangan bersih. Ia bangga dan melangkah maju kedalam mobil
mewah, lanjut iringi pak polisi, semua minggir karenanya. Jauh lampau dari si
mobil hitam mengkilap, termenung peruh wajah gelandang kota. Heran karenanya,
ada apa ramai-ramai lewat. Rupanya ia sudah makan banyak berita, dengar kalimat
bagus nan indah pejabat negara tentang janji yang ia rasa manis, kala itu waktu
mendengarnya. Saat itu, dalam warkop merah putih, terkumpul warga kelas bawah,
tukang angkot dan kawan gelandang kota, berkumpul ramai menyaksi kubus ajaib
bercerita perkara kuasa negri. Satu tepuk, dua berkata brengsek, tiga bersorak
kasar, lain menelan ludah. Sudah pada sadar rupanya. Kubus kotak itu memberi
gambar gagahnya tikus berdasi muncul dengan senyuman mempesona . Hari pemilihan
tiba, tak banyak didukung tapi tiba menang, tiba juara, dan tiba-tiba polisi pemberantas
korupsi tangkap ia. Sekali lagi zalim. Kita sudah dizalimi.
Rayu
bangga dalam siasat halus, rakyat yang sibuk urusi perut disuruh pintar. Tuntut
mandiri dan penuhi kebutuhan, menggampar anak dengan cacian diam. Beragam
alasan perkara membenteng dalam jagat hidup negri hijau. Lagi dan lagi, terus
dan terus, masalah itu layak tuyul tak diundang. Atau memang dihukumi demikian,
negri ini perlu banyak masalah. Ini contohnya, tentang budaya kita. Corak polos
dahulu kala, nilai luhur tentang sopan santun dijunjung erat, anak membungkuk
dan hormat mencium tangan. Abang tersenyum lebar, melambai tangan dan elus
kepala tanda kasih sayang. Sorak salam ramai antar tetangga, sesekali datang
ngobrol hidup, sambil sambil cekikian tertawa. Ramah. Itu kata leluhur kita.
Tapi hari berganti zaman. Dunia luar tak segan berekespansi ganas. Dalam satu
kata globalisasi. Hinggap menjemput dan menghisap budaya baik negri kita. Tak
siap menyaring, akhir menggigil dengan serbuan barat. Klaim sopan tak adalagi,
tersisa amarah antara abang dan adik dalam keluarga. Sudah yang terdekat
demikian, apalagi berjauh jarak antar tetangga, rasanya hening nuansa, hidup
sendiri-sendiri lebih dinikmati saja. Entah melarat tetangga depan, tak peduli
karna dia tidak sama dengan kami. Mengapa ? sudah barangkali wajar, jangan lagi
cekcok suasana, fokus saja apa yang ada. Zaman telah berbeda. Nestapa sedih,
bumi pertiwi sedih, dimana identitas kita ? Diam! Dan jangan banyak bicara.
Perjalanan
waktu menyisakan nuansa berbeda. Zaman ke zaman dirasa ada yang berubah. Tak
tanggung hingga ke akar budaya. Contohlagi Agama, dianggap biang kemunduran
pada suatu masa, menjadi candu, dan pula berkritik musuh berbahaya. Pesimistis
muncul belakangan, anggapan maju tanpa agama, nyaris menjadi biasa. Nasihat
moril leluhur tampak dilupakan. Pudar perlahan, dianggap kuno bagi yang kuat
menjalankan. Hidup manusia kini berlaga tuhan, sudah merasa tahu akhir
kehidupan, merasa kuat, merasa hebat, namun jika kabar bencana datang,
tersentak ucap kalimat tuhan, bodohkah ? Tanya saja dirinya atau diri kita bisa
jadi. Misteri kita dirongrong bermacam masalah, terlihat maju nyatanya keropos
di dalam. Iman itu dipertanyakan, sampai sampai kematian merasa bisa
dikendalikan. Tapi dirasa kita bukan tidak percaya tuhan. Tapi tuhan telah
berbeda baginya. Bisa jadi. Barangkali tuhan berevolusi menjadi teknologi,
hingga napas habis terturuti karenanya. Lihat saja komposisi waktu, kepada
siapa dan untuk apa waktu kita habiskan. Tidak! Bukan teknologi rupanya, Nampak
lebih dasar daripada itu semua, lebih umum dirasakan banyak manusia. Bukankah
waktu adalah uang ? teknologi bisa dibeli juga dengan uang ? sadar! Manusia
hidup dengan uang, lihat saja pentas kuasa, untuk apa dikejar kalau bukan
karena uang, lihat saja negri amburadul timur tengah sana, kecamuk perang
timbul bukankah juga karena uang ? Adalagi mengatasnamakan penceramah, tiba
belakang layar setelah kelar mengisi ruh iman katanya. Minta bayaran komisi,
karena perlu uang. Tuhan sudah menjadi uang. Anak sekolah sampai-sampai,
nasihat pertama bukan karna ibadah, cuap halus meninggi cita, agar anak bisa
banyak uang. Banyak uang sama dengan bahagia. Tapinya kita diam. Bisu dan lama
kelamaan menjadi biasa. Negri terkurung derajat materi, hina! Nyatanya sehat
tak bisa dibeli uang juga dengan ketenangan. Hilang arah dalam kondisi
renungan, tak mampu jawab pertanyaan filosofis mendasar. Untuk apa hidup ? dan untuk
apa ada ?. Adapun pengakuan beriman, barangkali sekadar nyolot dimulut tanpa perbuatan.
Syariat bukan kewajiban apalagi kebutuhan. Dianggap nanti kalau sudah tua baru
bertaubat. Berkata percaya, padalah percaya tidak timbul sekadar dimulut, tapi
juga di hati, juga diperbuatan. Simpulkan kita sedang krisis Iman.
Zaman
telah menyatakan, bahwa perubahan adalah keniscayaan. Zaman telah memanggil ruh
para pejuang yang siap menentukan masa depan. Barangkali ada yang capek.
Bolehlah beristirahat, tapi kita jangan pernah lupa. Bahwa pergulatan zaman
banyak yang ingin memastikan, tentang pemikirannya ataupun kepentingannya.
Nampak terlihat oleh mata, kini zaman dimenangkan nafsu dan fikiran kotor jauh
dari moral dan agama. Beginilah jadinya. Persaksian zinah menjadi biasa,
bercinta sejenis pun apa daya, HAM! Dasar alasannya. Disoroti sebagai
pewajaran, eksploitasi definisi tanpa melihat diri dan akal naluri, kita
terbodohi oleh mereka yang teriak kita bodoh, kita dipecut dan mengalah, mereka
abai dan percaya diri berkoar salah, bodo amatan baginya , hilang arugumentasi dan
lemas, mengendap jadi kerak, terinjak zaman dan menghilang. Dirasalah buih,
sempal kita! Banyak bagai buih, cuih.
Demikianlah, tersumpah bagi kita yang sadar,
masa kita bukanlah lentera damai. Kita berperang dalam guratan peristiwa,
bersama mereka yang juga mendeklarasikan untuk menentukan zaman. Kepastian
prinsip tercantum dalam pedoman iman, jika pertanyaan pegangan kuat kita apa ?
jelaslah jawaban kita. Bahwa Idealisme kebenaran menjunjung pada persaksian
Iman. Sejak kita dilahirkan, sejak kita diciptakan, ruh itu ditiup, barangkali
kita lupa, mari kita hidupkan! dan bergerak tentukan zaman. Kepada zaman yang
kuat akan relasi kemenangan dunia dan kemenangan akhirat. Janji adalah kepastian,
tapi ikhtiar bukankah proses perjuangan yang juga dituntut dalam nasihat iman.
Kita bisa menjadi bagian dari kemenangan peradaban. Akhir kata, mari kita
mulai, bismillah.
Komentar
Posting Komentar