Terbuka dalam berfikir semakin
terasa bahwa hal tersebut sangat perlu ku asah dan input dalam nilai karakter
kepribadian. Bayangkan diri kita yang sempit akan masukan luar, merasa bahwa
apa yang sudah ada dalam diri menjadi hal final yang perlu kita pertahankan
habis-habisan, maka konsekuensi harus kita terima, bahwa kita akan sulit
berkembang untuk menjadi pribadi lebih baik lagi. Mengutip hikmah pelajaran
dari HOS Cokroaminoto menegaskan bahwasanya menjadi hakikat manusia pembejalar
artinya fikiran harus terbuka untuk dapat mengakselerasi kemajuan diri.
Meyakini sepenuhnya bahwa ada beragam potensi kebaikan dari berbagai jenis
orang. Termasuk orang gila sekalipun. Pernah mendengar kisah seorang ulama yang
dinasihati orang gila ? lebih-lebih anak kecil sekalipun. Berfikir Open Mind adalah proses perbaikan diri
kita dengan merangkul banyak orang, melalui indera pendengaran yang siap sedia
menerima masukan. Namun perlu menjadi catatan, berfikir open mind bukan berarti kita menanggalkan prinsip diri. Berpegang
teguh pada prinsip tetaplah keharusan, sedikit catatan sejatinya prinsip adalah
yang berpegang teguh kepada kebenaran. Maka kita tengok ketika input nasihat
dekat dengan prinsip kebenaran wajib bagi kita berlegowo menerima dan menginput
untuk menjadi racikan tambahan demi perbaikan diri. Namun jika tidak, kita
hanya perlu mendengarkannya dan berterimakasih atas masukannya.
Nilai Open Mind mengajarkan kita tentang keindahan akhlak. Karna biasanya
mereka yang keras kepala dengan keyakinan perkaranya cenderung bersikap tidak
menghargai lawan bicara. Apalagi kita yang seorang da’i jika tertonjolkan sikap
demikian bisa jadi muncul sikap ketidakpercayaan mereka kepada kita.
Sebagaimana sebuah kutipan “jika kamu ingin
dihormati maka hormatilah orang lain”. Kitapun pernah merasakan bahwa
kadang diri kita keras kepala karna melihat subjektif lawan bicara, kita yang
mengenal kepribadiannya dan pola kehidupannya sehari-hari membawa kesimpulan
bahwa orang tersebut tidaklah layak “menasihati” kita. Disini kita melihat
‘siapa’ bukan ‘apa. Kewajaran bahwasanya manusia normal bersikap demikian,
namun sebuah nasihat indah dari ajaran Islam, memberikan penekanan kepada kita
untuk menjadi manusia yang sejatinya open
mind, kurang lebih begini nasihatnya “Lihatlah
apa yang dibicarakan bukan siapa yang berbicara”. Lupakan tentang
kepribadian yang terpampang dengan mata atas lawan bicara, karna sejatinya isi
hati tiada yang pernah menau dan bisa jadi kita hanya menengok ia 10% dari baku
hantam perjalanan hidupnya.
Seperti apa yang telah kita pahami pada teks kalimat
awal, bahwa sejatinya setiap insan punya potensi kebaikan, maka kita tidak
berhak bersempit diri jika perbaikan diri adalah tujuan yang ingin kita raih.
Bisa jadi pintu hidayah masuk dari perkataan anak kecil atau teman
seperjuanagan yang biasa kita lupakan karna kita menganggap bahwa kita lebih
darinya. Mulai dari sekarang kita mencoba untuk sama-sama belajar bahwa open mind adalah keharusan untuk
mentarbiyah diri kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi, menerima masukan,
mendengarkan sepenuh hati, soal kita amalkan atau tidak perkara filterisasi
atas masukan yang kita tengok dengan ketulusan hati kebenarannya atas prinsip
diri.
Komentar
Posting Komentar