Sejauh kita berkiprah dalam
perjalanan panjang hidup, tak bisa kita maknai sebuah penghargaan berarti
ketika pencapaian hanya untuk dinikmati diri sendiri. Kita melihat beragam
penghargaan diperoleh sekawan, ada yang menjadi juara esai nasional
berkali-kali, duta, anak exchange, debaters yang selalu manis peroleh juara.
Semua itu adalah alat akselerasi agar kita matang ketika saatnya kita harus
“diminta” peran kontribusinya kepada masyarakat banyak. Namun bagaimana mereka
yang berprestasi lantas lupa diri ? maka perlu kita maknai prestasi lebih dalam
agar outputnya tak melahirkan kesombongan ataupun sikap oportunis, melainkan
terbungkus menjadi kesiapan kita untuk memberikan kebermanfaatan lebih baik
kepada masyarakat. Dalam langit asrama rumah kepemimpinan symbol kontributif
termanifesatai dengan jati diri RK (Rumah Kepemimpinan) yakni Aktivis
Pergerakan. Asahan kontributif kudapatkan dari perjalanan berorganisasi dakwah di kampus. Sedikit cerita
semoga bisa menggali inspirasi.
Mahasiswa menjadi sebuah title tinggi dimata
masyrakat awam. Bagaimana tidak ? mendudukinya perlu effort besar, sekadar sekolah asal-asalan boro-boro bisa mendaftar,
paling tidak jika otak tidak bisa bermain maka uang lah menjadi pilihan. Bagi
orang berduit bisa, namun bagaimana mereka yang hidup sekadarnya ? membeli
beras saja hitung-hitungan apalagi berfikir menyekolahkan anak ke jenjang
perguruan tinggi. Maka hal tersebut patut menjadi refleksi kita, bahwa hadirnya
kita dijenjang perguruan tinggi adalah rasa syukur yang mendalam. Akses terbuka
untuk melihat dunia secara luas, relasi mudah kita dapatkan, begitupun ilmu
sekadar duduk 2 jam dalam ruang kuliah kita dapatkan informasi berharga dari
otak para professor.Tapi itu hilang, refleksi diri pribadi bahwa kadang
rutinitas membuat kita lupa bahwa kita sudah menjadi elemen sangat berharga.
Walhasil nyatanya kita leha-leha, datang kuliah misinya sekadar absen lanjut
pulang dan kembali rebahan. Padahal kitalah yang ditunggu aksinya, para kaum
intelektual yang mudah bervisi besar karna akses gerbang menjadi mahasiswa
sangat memungkinkan untuk kita berpengaruh luas. Membayangkan ratusan ribu
petani, pedagang kecil, nelayan, sesuap nasi mereka dapati untuk kebutuhan
hidup sehari-hari, padahal tenaga yang dikeluarkan jauh berbeda dengan para
pejabat yang beduduk santai menandatangan kontrak dan selesai, uang ngalir
puluhan juta ke kantong tanpa usaha kucuran deras keringat sebagaimana pak
petani lakukan. Itulah yang seharusnya menjadi visi kita sebagai mahasiswa.
Pentas kontribusi ditunggu maka jenjang mahasiswa perlu dimanfaatkan seoptimal
mungkin agar kelak kita dapat berkontribusi untuk menjadikan Indonesia yang
bermartabat.
Dalam medan perguruan tinggi Allah takdirkan aku
membersamai LDK Al Hurriyyah, Rohis Kelas/Departemen, Dewan Mushola Asrama, dan
sekarang BKIM untuk dapat belajar
berkotribusi nyata kepada masyarakat. Tentunya dalam lingkup kampus, sasaran
utama biasanya masyarakat kampus yakni mahasiswa, segenap dosen, dan tenaga
pengajar lainnya. Meruncingkan arti kontributif ternyata tidaklah semudah
berbicara didepan publik. Penajaman keikhlasan bahwa apa yang kita beri
nyatanya semurni pemberian tanpa imbalan hasil, idealisme ditantang untuk dapat
bertahan istiqamah membersamai langkah juang. Kita yang bersusah payah
membangun event dengan tujuan kebermanfaatan terbayar sasaran target yang
datang tidak sebanyak ekspetasi. Disana kita diuji, betapa kata ikhlas benarkah
sudah terpatri menjadi niat dan amalkan. Kalau boleh mengambil kesimpulan kata
ikhlas itulah yang sejatinya penting menjadi pelajaran dalam rangka
berkontribusi. Sebab kita tak boleh henti, hasil yang tidak seberapa seharusnya
bukan menjadi patokan final untuk kita tetap bergerak atau tidak. Melainkan
proses yang perlu dihayati dan nikmati sama-sama. Karna jika aku berfikir,
barulah kita menyadari bahwa pasca kampus tuntutan kontribusi kata para alumni
butuh banyak pertimbangan, bukan pertimbangan luar melainkan dalam diri
pribadi. Biasanya faktor uang. Maka tak jarang kita menengok para aktivis kampus
yang tak nyaring kembali suaranya pasca pentas sebenarnya ia hadapi. Jika
dikampus lelahnya kita masih senang karna tak banyak beban sana sini, tapi
berbeda ketika kita sudah menjadi alumni. Dalam garis kesimpulan aktivitas
kontribusi masa kampus perlu sekali kita hayati dan maknai dalam-dalam, segala
proses harus kita nikmati seraya keikhlasan niat dalam hati. Karna penilaiannya
bukan pada masa kampus tapi tatkala title alumni sudah menjadi pangkat dan
kontribusi kita di nanti sebagaimana teriakan semasa mahasiswa.
Ini adalah refleksi yang sangat ku
sadari juga menjadi PR besar, bagaimana aku mempersiapkan sedari dini kendaraan
“diri” ku ini untuk bisa menjadi driver bukan
passanger yang terbawa arus zaman. Semoga
Allah ridhoi perjuangan kita, dan istiqamahkan kita dengan title “aktivis”nya.
Aamiin
Komentar
Posting Komentar