Zaman globalisasi telah
memberikan banyak peluang kepada setiap individu manusia modern untuk
berkembang menciptakan berbagai macam pundi-pundi harta. Globalisasi membuka
peluang akses informasi yang luar biasa, kecepatan perpindahan dari satu tempat
ke tempat lain, teknologi yang memberikan kemampuan untuk memproduksi sesuatu
dengan output berkali lipat dibanding teknologi tradisional. Maka tak heran,
kita sekarang melihat berbagai macam variasi pekerjaan baru yang mungkin jarang
kita lihat pada era-2000an kebawah. Katakanlah para youtubers, pengusaha-pengusaha start-up
seperti gojek, bukalapak,dll. Fenomena tersebut memberikan dampak positif
kemajuan sector ekonomi bagi suatu negara. Namun potret buruk globalisasi tak
bisa kita biarkan. Ketika kita melihat polarisasi di masyarakat antara si kaya
dan si miskin semakin terlihat akhir-akhir ini. Jurang gap tersebut telah
memberikan dampak kesenjangan social dan ekonomi yang berakhir pada
permasalahan social di masyarakat. Karna tidak heran, zaman globalisasi telah
memberikan akses lebih bagi individu yang memiliki harta untuk memperbanyak
asset dan pundi-pundi penghasilan melalui akses informasi dan teknologi yang
mumpuni.
Sejatinya pertarungan polarisasi si kaya dan si miskin
adalah isu klasik yang telah banyak terjadi dalam perjalanan periode masa
kehidupan. Puncaknya mungkin sontak terdengar pada era kapitalisme dimana revolusi industri memecahkan persoalan
produktivitas usaha, dampaknya para pengusaha mendapatkan berkali-kali lipat
kekayaan dan semakin kaya dengan memperlebar unit usaha. Namun mirisnya kala
itu era 80-90an dimana kaum buruh tertindas karna haknya dibatasi dengan upah
ala kadar, serta pemecatan PHK besar-besaran. Pada akhirnya memunculkan gerakan
pendobrakan atas ketidakadilan para kaum borjuis. Munculah istilah komunisme
sebagai gerakan yang menentang kezaliman tersebut dengan asas persamaan dan
keadilan tujuan akhirnya adalah kesejahtraan untuk seluruh rakyat. Komunisme lahir atas nama keadilan,
namun namanya tidak bertahan lama, bagai permen karet, mansinya komunisme tidak
bertahan lama. Ya, gagasan keadilan atas nama komunisme hancur tatkala
persoalan perekonomian justru semakin buruk dan mengucilkan asas persaingan
hingga menyebabkan turunnya produktivitas bagi suatu negara. Komunisme pun
ditinggalkan.
Harta
memanglah momok yang takpernah habis untuk dibahas. Wajar karnanya setiap orang
butuh untuk mendapatkan akses kehidupan yang lebih baik. Pertarungan pada era
komunisme dan kapitalisme pun berawal dari konflik atas nama ketidak adilan
dalam ‘pembagian harta’. Lantas bagaimana kita seharusnya menyikapi harta ?
apakah harta dapat menjadi asset untuk mewujudkan keadilan ? mari kita
perhatikan dengan mengambil hikmah dari QS Al Hasyr ayat 7 “supaya harta itu jangan beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu”, ayat tersebut
menggambarkan tentang keadilan pembagian harta yang tak boleh di nikmati si
kaya saja. Perputaran harta harus memastikan bahwasanya si miskin dapat
terangkat untuk ikut mendapatkan akses modal demi memperjuangkan nasib hidup
yang lebih baik. Kita mengenal zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf sebagai Islamic social finance atau Instrumen Ekonomi Islam.
Instrumen-instrumen tersebut membuktikan keadilan Islam dalam memandang ekonomi
secara seimbang. Islam mengajarkan kepada setiap manusia untuk berusaha dan
bekerjakeras, memperbanyak pundi harta bukanlah suatu kekeliruan, namun Islam
memastikan bahwasanya setiap harta yang kita usahakan bukanlah hal final yang
menjadi tujuan, melainkan harta sebagai alat bagi kita untuk memperbanyak
kebaikan atau kenclengan pahala untuk mempersiapkan kehidupan akhirat.
Sekarang kita bayangkan, bagaimana jika mindset goodness oriented terbangun bagi
setiap manusia, sangat dimungkinkan kezaliman dalam pemanfaatan harta dapat
kita minimalisir, sehingga perputaran harta si kaya kepada si miskin dapat
membangun kekuatan perekonomian. Perlu diketahui, ketika kita berbicara
kedahsyatan zakat bahwasnya penerima zakat telah ditentukan kepada beberapa
segmen khusus salah satunya fakir dan miskin. Zakat dapat menjadi pembangun
untuk penyamarataan akses si miskin dalam membangun kehidupan lebih baik. Pun
ketika kita berbicara wakaf, dampak nyata wakaf telah kita melihat ketika berbagai
macam fasilitas public yang hadir di masyarakat atas nama wakaf. Semakin
membuka lebar mengenai fatwa ulama kontemporer telah memperbolehkan wakaf uang
sebagai akses untuk mempermudah seseorang memiliki asset kekal membangun
perekonomian bangsa melalui wakaf uang. Wakaf uang memberikan kesempatan bagi
seseorang dengan uang Rp10.000 untuk memiliki asset wakaf rumah sakit dll. Semakin
dahsyat ketika wakaf uang diperuntukan kepada asset produktif, katakanlah kita
bermimpi memiliki asset hotel syariah, keuntungan atas asset hotel syariah akan
memberikan efek multiplier untuk diteruskan kepada pemanfaatan asset publik
lainnya. Selain itu, manfaat keuntungan asset hotel akan tetap bergulir selama
asset tetap tegak berdiri beroperasional. Faktanya, model wakaf seperti itu
telah banyak dikembangkan diberbagai negara dunia. Contohnya Hotel Wakaf Habib Bugak Asyi di Aziziah kita kenal Wakaf Baitul Asyi.
Wakaf tersebut merupakan wakaf produktif yang mengelola sejumlah hotel di
kawasan Masjidil Haram serta tanah dan perumahan bagi warga keturunan Aceh di
Arab Saudi.
Islam adalah solusi, kehadirannya memberikan keharuman
untuk memecahkan permasalahan bangsa dengan asas keadilan. Islam memberikan
arti kepada seseorang untuk hidup saling mengasihi dan menyayangi. Sebagaimana
prinsip persaudaaran yang telah dipraktikan zaman sahabat dulu, tatkalah masa
hijrah ke madinah, rasulullah mempersatukan kaum anshar dan muhajirin dengan
tangisan dan sambutan saudara satu sama lain, untuk rela memberikan hartanya
kepada saudaranya yang baru ia kenal karna ia tahu bahwa saudaranya dalam
keadaan sangat membutuhkan. Sunggu fenomena persaudaraan yang lebih dalam dari
sekadar ikatan saudara.
sumber gambar : https://thegorbalsla.com/kelompok-sosial/
Komentar
Posting Komentar